Jumat, 19 April 2013

Thariqah Mu'tabarah Nahdliyyah

Apa arti Tarekat atau Thariqah
Kata tarekat atau thariqah berasal dari bahasa Arab thariqah, jamaknya tharaiq, yang berarti: (1) jalan atau petunjuk jalan atau cara, (2) Metode, system (al-uslub), (3) mazhab, aliran, haluan (al-mazhab), (4) keadaan (al-halah), (5) tiang tempat berteduh, tongkat, payung (‘amud al-mizalah)..
Secara istilah, thariqah ada beberapa pengertian, antara lain :
Pertama, thariqah yang berarti jalan, merupakan salah satu metode untuk memdekatkan diri kepada Allah.
Kedua, menurut Al-Jurjani ‘Ali bin Muhammad bin ‘Ali (740-816 M), tarekat ialah metode khusus yang dipakai oleh salik (para penempuh jalan) menuju Allah Ta’ala melalui tahapan-tahapan/maqamat.
Ketiga,menurut Prof. Dr. KH. Said Aqil Siraj thariqah berarti menjalankan ajaran Islam dengan hati-hati dan teliti dan melaksanakan fadlailul 'amal serta bersungguh-sungguh mengerjakan ibadah dan riyadlah. Meninggalkan perkara syubhat, yang remang-remang, yang tidak jelas hukumnya adalah contoh kehati-hatian tersebut. Contoh falailul 'amal adalah mengerjakan sholat tahajjud, shalat sunnah rawatib, dan lainnya. Sementara aktif berdzikir, istighfar, berpuasa pada hari Seni dan Kamis merupakan contoh riyadlah. .
Sejarah Munculnya Thariqah
Pada abad pertama hijriyah mulai ada perbincangan tentang teologi, dilanjutkan mulai ada formalisasi syari'ah. Abad kedua hijriyah mulai muncul tasawuf, golongan sufi yang mengamalkan amalan-amalan dengan tujuan kesucian jiwa untuk taqarraub kepada Allah. Para sufi kemudian membedakan pengertian syari'ah, thariqah, hakikat dan makrifat.Menurut merekan syari'at itu untuk untuk memperbaiki amalan-amalan lahir, Thariqah untuk memperbaiki amalan-amalan bati (hati), hakikat untuk mengamalkan segala rahasia yang ghaib, sedangkan makrifat adalah tujuan akhir, yaitu mengenal hakikat Allah baik zat, sifat maupun perbuatan-Nya. Orang yang sampai ke tingkat makrifat dinamakan wali. Kemampuan yang luar biasa yang dimilikinya disebut karamah atau supranatural, sehingga dapat terjadi pada dirinyahal-hal y6ang luar niasa yang tidak terjangkau oleh akal, baik di masa hidup maupun sesudah meninggal. Syeikh Abdul Qadir Jaelani (471-561 H/1078-1168 M.) menurut pandangan para sufi adalah wali tertinggi disebut quthub al-auliya (wali kutub)
Pada abad ke-5 hijriyah atau 13 Masehi barulah muncul thariqah sebagai kelanjutan kegiatan kaum sufi sebelumnya. Hal ini ditandai dengan setiap silsilah thariqah selalu dihubungkan dengan nama pendiri atau tokoh-tokoh sufi yang lahir pada abad itu.
Pandangan Ulama tentang Thariqah
KH M. Hasyim Asy'ari, sebelum mendirikan Nahdlatul Ulama, juga sangat kritis terhadap thariqah. Beliau berusaha meluruskannya dengan menyusun kitab berjudul Ad-Durar al-Muntasyirah fi Masail aT-Tis'a Asyarah. Isinya berupa bimbingan praktis agar umat Islam lebih berhati-hati memasuki thariqah. Dalam pandangan beliau, tidak semua thariqah berjalan sesuai tuntunan syariat. Namun yang jelas Hadratussyaikh tidak menentang thariqah
Untuk itu kemudian –agar ada tuntunan dalam ber-thariqah- Nahdlatul Ulama mendirikan Jam'iyyah Ahlith Thariqah Al-Mu'tabarah(Jatman). Walau baru berdiri tanggal 10 Oktober 1957, sepuluh tahun sesudah Hadratussyaikh wafat, tetapi itu tetap membawa semangat koreksi beliau.
Thariqah-thariqah Mu'tabarah Nadliyyah
Jumlah Thariqah-thariqah Mu'tabarah Nadliyyah -sebagaimana disebutkan dalam kitab Jaami'ul Ushuli al-Auliya halaman 187 – ada 44 thariqah, yaitu : (1) 'Umariyyah, (2) Naqsyabandiyyah, (3) Qadiriyyah, (4) Syadziliyyah, (5)Rifa'iyyah, (6) Ahmadiyyah, (7) Dasuqiyyah, (8) Akbariyyah, (9) Maulawiyyah, (10) Kubrawiyyah, (11)Sahrawardiyyah (12)Khalwatiyyah , (13) Jalwatiyyah, (14) Bakdasyiyyah, (15) Ghazaliyyah, (16)Rumiyah, (17) Sa'diyah (18) Gistiyyah, (19) Sya'baniyyah, (20) Kalsyaniyyah, (21) Hamzawiyyah, (22) Bairumiyyah, (23) Usysyaqiyyah (24) Bakriyyah (25) Idrusiyyah, (26) Utsmaniyyah, (27) Alawiyyah, (28) Abbasiyyah, (29) Zainiyyah, (30) Isawiyyah, (31) Buhuriyyah, (32) Haddadiyyah, (33) Ghaibiyyah, (34)Khadiriyyah, (35) Syathariyyah, (36) Bayumiyyah, (37) Malamiyyah, (38) Uwaisiyyah, (39) Idriyyah, (40) Akaabiral Auliyyah, (41) Matbuliyyahu, (42) Sunbuliyyah, (43) Tijaniyyah, (44) Samaniyyah. Dari ke 44 thariqah itu, hanya beberapa yang ada di Indonesia, yaitu Naqsyabandiyyah, Qadiriyyah dan Syathariyyah. Sebagian daerah ada thariqah Syadziliyyah, Tijaniyyah dan Samaniyyah. Adapun selain itu mungkin ada di Indonesia, namun tidak berkembang dan mungkin terdapat persamaan nama Thariqah Mu'tabarah 44 macam tersebut di atas, namun tidak tentu itu nama thariqah kita. Jam'iyyah Ahlith Thariqah Al-Mu'tabarah (Jatman).
Tujuan didirikannya Jam'iyyah Ahlith Thariqah Al-Mu'tabarah (Jatman) adalah : 1. Membimbing organisasi-organisasi thariqah yang dinilai belum mengajarkan amalan-amalan yang sesuai dengan al-Qur'an dan as-Sunnah. 2. Mengawasi organisasi-organisasi tahriqah agar tidak menyalahgunakan pengaruhnya untuk kepentingan yang tidak dibenarkan oleh ajaran agama Islam
Pada tanggal 14 Januari 2012 telah diselenggarakan Muktamar Jamiyyah Ahlith Tahriqah Al-Mu'tabarah An-Nahdliyyah di Pondok Pesantren Al-Munawariyyah Desa Sudimoro, Kecamatan Bululawang Kabupaten Malang. Pada muktamar XI tersebut, dalam susunan Idaroh Aliyah (pimpinan pusat) untuk periode 2012-2016 terpilih sebagai Rois'Am adalah KH Habib Luthfi Ali bin Yahya.
Selain menetapkan pengurus, Muktamar XI juga menghasilkan beberapa keputusan penting, antara lain : 1. Dibentuknya muslimat dalam lingkungan thariqah yang disebut dengan Muslimat Thariqiyyah 2. Jatman juga mendeklarasikan lajnah baru bernama Matan, yaitu Mahasiswa Jam'iyyah Ahlith Thariqah an-Nahdliyyah 3. Jatman berperan besar sebagai pelopor berdirinya asosiasi thariqah seluruh dunia. 4. Jatman secara resmi merekomendasikan kepada PBNU agar semua pengurus NU dibaiat menjadi pengamal thariqah.
Sumber :
Majalah AULA. TAB'AH 02 / SNH XXXIV / Pebruari 2012
Said Aqil Siraj, Tasawuf Sebagai Kritik Sosial, (Jakarta: yayasan Khas, 2009)
Abu Bakar Aceh, Pengantar Ilmu Tharekat (Uraian tentang Mistik) , (Jakarta:Fa. HM Tawi &Son, 1966) Sri Mulyati (et.al), Tarekat-tarekat Muktabarah di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2005)
KH.A. Aziz Masyhuri (ed.), Permasalahan Thariqah, (Surabaya:Khalista, 2006)
H Soelaiman Fadeli, Mohammad Subhan, S.Os, Antologi NU I, (Surabaya:Khalista, 2008)

Selasa, 16 April 2013

Sahabat Berkreasi, Nabi Menyetujui

Tersebut dalam sebuah hadits :
أخبرني محمد بن وهب قال حدثنا محمد بن سلمة عن أبي عبد الرحيم قال حدثني زيد هو بن أبي أنيسة عن عمرو بن مرة عن عون بن عبد الله عن عبد الله بن عمر قال قام رجل خلف نبي الله صلى الله عليه و سلم فقال الله أكبر : كبيرا والحمد لله كثيرا وسبحان الله بكرة وأصيلا فقال نبي الله صلى الله عليه و سلم من صاحب الكلمة فقال رجل أنا يا نبي الله فقال لقد ابتدرها اثنا عشر ملكا قال الشيخ الألباني : صحيح
([سنن النسائي - بأحكام الألباني [2/ 125)
"…dari Abdullah bin Umar berkata : "Seorang laki-laki datang pada saat shalat berjama'ah didirikan. Setelah sampai di shaf, laki-laki itu berkata : "Allahu akbar kabiiran walhamdulillahi katsiran wa subhanallahi bukratan wa ashila".
Setelah Nabi saw selesai sholat, beliau lalu bertanya : "Siapa yang mengucapkan kalimat tadi?"
Laki-laki itu menjawab :"Saya, ya Rasulullah. Demi Allah saya hanya bermaksud baik dengan kalimat itu".
Beliau bersabda : "Sungguh aku telah melihat pintu-pintu langit terbuka menyambut kalimat itu".
Ibnu Umar berkata :"Aku belum pernah meninggalkannya sejak mendengarnya."
Hadits diriwayatkan oleh Muslim (1357), al-Tirmidzi (3952), al-Nasa'I (884) dan Ahmad (2/14)
Sumber : Tim Bahtsul Masa'il PCNU Jember, Membongkar Kebohongan Buku Mantan Kiyai NU, Khalista, Surabaya, 2008, hal. 94-95

Senin, 15 April 2013

Masjid Nahdliyin

Allah berfirman :
إِنَّمَا يَعْمُرُ مَسَاجِدَ اللّهِ مَنْ آمَنَ بِاللّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ وَأَقَامَ الصَّلاَةَ وَآتَى الزَّكَاةَ وَلَمْ يَخْشَ إِلاَّ اللّهَ فَعَسَى أُوْلَـئِكَ أَن يَكُونُواْ مِنَ الْمُهْتَدِينَ
Artinya :
Hanyalah yang memakmurkan mesjid-mesjid Allah ialah orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian, serta tetap mendirikan shalat, menunaikan zakat dan tidak takut (kepada siapapun) selain kepada Allah, maka merekalah orang-orang yang diharapkan termasuk golongan orang-orang yang mendapat petunjuk.
Dari ayat ini ada bebarapa hal yang bias diambil pelajaran . (1) Yang pantas memakmurkan masjid adalah orang-orang beriman. (2) Hanya orang-orang yang beriman yang mau memakmurkan masjid (3) Yang memakmurkan masjid dengan sholat, dzikir dsb. adalah termasuk orang beriman (4) Orang yang beriman ketika ada panggilan azan dari masjid, maka mereka mendatanginya untuk sholat.
MASJID NAHDLIYYIN
1. PENGERTIAN . Masjid Nahdliyyin adalah rumah Allah yang didirikan oleh seseorang atau sekelompok orang yang menganut keyakinan dan tradisi keislaman Nahdliyin, sebagai tempat bersujud,menyatakan puji syukur kepada-Nya menurut keyakinan dan tata cara khas Nahdliyin berdasarkan nilai-nilai luhur kitab suci Al-Qur'an dan Sunnah Rasul serta tradisi para penduhulu yang terpuji (Salaf as-Shalihin), sebagai tempat untuk merajut persaudaraan sejati, menyatukan pikiran dan langkah untuk memakmurkan bumi Allah bagi kemashlahatan Indonesia dan jagat raya.
2. Ciri fisik Masjid Nahdliyin biasanya adanya beduq, logo NU pada dinding atau dalam lembaran Jadwal sholat atau kalender.
3. Tata cara Ubudiyahnya, sesudah sholat membaca wirid dan doa bersama dipimpin imam, dihangatkan dengan salam-salaman dan bacaan sholawat. Membaca Ushalli ketika takbiratul ihram, basmalah sebelum fatihah dan surat, qunut dalam sholat sub8uh, adzan 2 kali sebelum khutbah jum'at, dan tarawih 20 rakaat.
4. Kegiatannya, secara berkala diselenggarakan doa bersama dalam Ratiban, Manaqiban, Istighasah, atau sholawatan dalam Barzanji atau Diba'iy, serta tahlilan.
5. Pada hari-hari besar Islam diselenggarakan Peringatan Maulid, Isra'Mi'raj, Nuzulul Qur'an, dsb.
6. Jika karena satu dan lain hal tidak menjalankan amalan-amalan di atas, minimal kaum Nahdliyin tidak membid'ah dlalalahkannya.
Sumber: KH. Masdar Farid Mas'udi, Membangun NU Berbasis Masjid dan Umat, LTM-NU, Jakarta, 2011, hal. 12-15

Minggu, 14 April 2013

Bid'ah Menurut Al-Utsaimin, Bid'ah juga ada yang Tidak Sesat

Berkata Al-Utsaimin
ومن القواعد المقررة أن الوسائل لها أحكام المقاصد فوسائل المشروع مشروعة، ووسائل غير المشروع غير مشروعة، بل وسائل المحرم حرام ، فالمدارس وتصنيف العلم وتأليف الكتب وإن كان بدعة لم يوجد في عهد النبي صلى الله عليه وسلّم على هذا الوجه إلا أنه ليس مقصداً بل هو وسيلة والوسائل لها أحكام المقاصد. ولهذا لو بنى شخص مدرسة لتعليم علم محرم كان البناء حراماً ولو بنى مدرسة لتعليم علم شرعي كان البناء مشروعاً.
Al-Utsaimin mengatakan : " Diantara kaedah yang ditetapkan adalah bahwa perantara itu mengikuti hokum tujuannya. Jadi perantara tujuan yang disyariatkan, juga disyariatkan. Perantara tujuan yang tidak disyariatkan, juga tidak disyariatkan. Bahkan perantara tujuan yang diharamkan juga diharamkan. Karena itu, pembangunan madrasah-madrasah, penyusunan ilmu pengetahuan dan kitab-kitab, MESKIPUN BID'AH YANG BELUM ADA PADA MASA RASULULLAH, dalam bentuk seperti ini, namun ia bukan tujuan, melainkan hanya perantara, sedangkan hokum perantara mengikuti hokum tujuannya. Oleh karena itu, bila seorang membangun madrasah untuk mengajarkan ilmu yang diharamkan, maka membangunnya dihukumi haram. Bila ia membangun madrasah untuk mengajarkan syari'at, maka memabngunnya disyari'atkan" ( Al-Utsaimin, al-Ibda' fi kamal al-Syari'ati Wa Khathar al-Ibtida': hal 18-19)
Pada awalnya Al-Utsaimin mengatakan, bahwa semua bid'ah secara keseluruhan, tanpa kecuali adalah sesat, dan sesat tempatnya di neraka, dan tidak akan pernah benar membagi bid'ah menjadi tiga, apalagi lima. Kini Al-Utsaimin telah menyatakan, bahwa membangun madrasah, menyusun ilmu dan mengarang kitab itu bid'ah yang belum pernah ada pada masa Rasulullah saw, namun hal ini bid'ah yang belum tentu sesat, belum tentu masuk neraka, bahkan hokum bid'ah dalam soal ini terbagi menjadi beberapa bagian, sesuai dengan hukum tujuannya.
Sumber : Tim Bahtsul Masa'il PCNU Jember, 2008, hal.82-83

Sabtu, 13 April 2013

Dialog Syaikh Al-Buthi dan Al-Albani tentang Bermadzhab

Dewasa ini perkembangan ilmu hadits di dunia akademis mencapai fase yang cukup signifikan. Hal ini ditandai dengan banyaknya kajian-kajian ilmu hadits dari kalangan ulama dan para pakar yang hampir menyentuh terhadap seluruh cabang ilmu hadits seperti kritik matan, kritik sanad, takhrij al-hadits dan lain sebagainya. Kitab-kitab hadits klasik yang selama ini terkubur dalam bentuk manuskrip dan tersimpan rapi di rak-rak perpustakaan dunia kini sudah cukup banyak mewarnai dunia penerbitan.
Namun sayang sekali, dibalik perkembangan ilmu hadits ini, ada pula kelompok-kelompok tertentu yang berupaya menghancurkan ilmu hadits dari dalam. Di antara kelompok tersebut, adalah kalangan Mereka yang Meremehkan Amalan Dari Hadits Dlo,ifdalam konteks fadhail al-a’mal, manaqib dan sejarah, yang dikomandani oleh Muhammad Nashiruddin al-Albani, tokoh Wahhabi dari Yordania, dan murid-muridnya. Baik murid-murid yang bertemu langsung dengan al-Albani, maupun murid-murid yang hanya membaca buku-bukunya seperti kebanyakan Wahhabi di Indonesia. dengan kata lain mereka Bergaya Ilmiyah Menfitnah Ilmuwan.
Di kutip dan di ringkas dari Kitab al-Lamadzhabiyyah Akhthar Bid’ah Tuhaddid al-Syari’at al-Islamiyyah. Ada sebuah perdebatan yang menarik tentang ijtihad dan taqlid, antara Syaikh Muhammad Sa’id Ramadhan al-Buthi, seorang ulama Ahlussunnah Wal-Jama’ah di Syria, bersama Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani, seorang tokoh Salafi Wahabi dari Yordania.
Syaikh al-Buthi bertanya: “Bagaimana cara Anda memahami hukum-hukum Allah, apakah Anda mengambilnya secara langsung dari al-Qur’an dan Sunnah, atau melalui hasil ijtihad para imam-imam mujtahid?”
Al-Albani menjawab: “Aku membandingkan antara pendapat semua imam mujtahid serta dalil-dalil mereka lalu aku ambil yang paling dekat terhadap al-Qur’an dan Sunnah.”
Syaikh al-Buthi bertanya: “Seandainya Anda punya uang 5000 Lira. Uang itu Anda simpan selama enam bulan. Kemudian uang itu Anda belikan barang untuk diperdagangkan, maka sejak kapan barang itu Anda keluarkan zakatnya. Apakah setelah enam bulan berikutnya, atau menunggu setahun lagi?”
Al-Albani menjawab: “Maksud pertanyaannya, kamu menetapkan bahwa harta dagang itu ada zakatnya?”
Syaikh al-Buthi berkata: “Saya hanya bertanya. Yang saya inginkan, Anda menjawab dengan cara Anda sendiri. Di sini kami sediakan kitab-kitab tafsir, hadits dan fiqih, silahkan Anda telaah.”
Al-Albani menjawab: “Hai saudaraku, ini masalah agama. Bukan persoalan mudah yang bisa dijawab dengan seenaknya. Kami masih perlu mengkaji dan meneliti. Kami datang ke sini untuk membahas masalah lain”.
Mendengar jawaban tersebut, Syaikh al-Buthi beralih pada pertanyaan lain: “Baik kalau memang begitu. Sekarang saya bertanya, apakah setiap Muslim harus atau wajib membandingkan dan meneliti dalil-dalil para imam mujtahid, kemudian mengambil pendapat yang paling sesuai dengan al-Qur’an dan Sunnah?”
Al-Albani menjawab: “Ya.”
Syaikh al-Buthi bertanya: “Maksud jawaban Anda, semua orang memiliki kemampuan berijtihad seperti yang dimiliki oleh para imam Madzhab dalam Islam ? Bahkan kemampuan semua orang lebih sempurna dan melebihi kemampuan ijtihad para imam madzhab. Karena secara logika, seseorang yang mampu menghakimi pendapat-pendapat para imam madzhab dengan barometer al-Qur’an dan Sunnah, jelas ia lebih alim dari mereka.” Al-Albani menjawab: “Sebenarnya manusia itu terbagi menjadi tiga, yaitu muqallid (orang yang taklid), muttabi’ (orang yang mengikuti) dan mujtahid. Orang yang mampu membandingkan madzhab-madzhab yang ada dan memilih yang lebih dekat pada al-Qur’an adalah muttabi’. Jadi muttabi’ itu derajat tengah, antara taklid dan ijtihad.”
Syaikh al-Buthi bertanya: “Apa kewajiban muqallid?”
al-Albani menjawab: “Ia wajib mengikuti para mujtahid yang bisa diikutinya.” Syaikh al-Buthi bertanya; “Apakah ia berdosa kalau seumpama mengikuti seorang mujtahid saja dan tidak pernah berpindah ke mujtahid lain?” al-Albani menjawab: “Ya, ia berdosa dan haram hukumnya.”
Syaikh al-Buthi bertanya: “Apa dalil yang mengharamkannya?”
Al-Albani menjawab: “Dalilnya, ia mewajibkan pada dirinya, sesuatu yang tidak diwajibkan Allah padanya.”
Syaikh al-Buthi bertanya: “Dalam membaca al-Qur’an, Anda mengikuti qira’ah-nya siapa di antara qira’ah yang tujuh?”
Al-Albani menjawab: “Qira’ah Hafsh.”
Al-Buthi bertanya: “Apakah Anda hanya mengikuti qira’ah Hafsh saja? Atau setiap hari, Anda mengikuti qira’ah yang berbeda-beda?”
Al-Albani menjawab: “Tidak. Saya hanya mengikuti qira’ah Hafsh saja.”
Syaikh al-Buthi bertanya: “Mengapa Anda hanya mengikuti qira’ah Hafsh saja, padahal Allah subhanahu wa ta’ala tidak mewajibkan Anda mengikuti qira’ah Hafsh. Kewajiban Anda justru membaca al-Qur’an sesuai riwayat yang datang dari Nabi shallallahu alaihi wasallam secara mutawatir.” Al-Albani menjawab: “Saya tidak sempat mempelajari qira’ah-qira’ah yang lain. Saya kesulitan membaca al-Qur’an dengan selain qira’ah Hafsh.”
Syaikh al-Buthi berkata: “Orang yang mempelajari fiqih madzhab al-Syafi’i, juga tidak sempat mempelajari madzhab-madzhab yang lain. Ia juga tidak mudah memahami hukum-hukum agamanya kecuali mempelajari fiqihnya Imam al-Syafi’i. Apabila Anda mengharuskannya mengetahui semua ijtihad para imam, maka Anda sendiri harus pula mempelajari semua qira’ah, sehingga Anda membaca al-Qur’an dengan semua qira’ah itu. Kalau Anda beralasan tidak mampu melakukannya, maka Anda harus menerima alasan ketidakmampuan muqallid dalam masalah ini. Bagaimanapun, kami sekarang bertanya kepada Anda, dari mana Anda berpendapat bahwa seorang muqallid harus berpindah-pindah dari satu madzhab ke madzhab lain, padahal Allah tidak mewajibkannya. Maksudnya sebagaimana ia tidak wajib menetap pada satu madzhab saja, ia juga tidak wajib berpindah-pindah terus dari satu madzhab ke madzhab lain?” Al-Albani menjawab: “Sebenarnya yang diharamkan bagi muqallid itu menetapi satu madzhab dengan keyakinan bahwa Allah memerintahkan demikian.”
Syaikh al-Buthi berkata: “Jawaban Anda ini persoalan lain. Dan memang benar demikian. Akan tetapi, pertanyaan saya, apakah seorang muqallid itu berdosa jika menetapi satu mujtahid saja, padahal ia tahu bahwa Allah tidak mewajibkan demikian?” Al-Albani menjawab: “Tidak berdosa.”
Syaikh al-Buthi berkata: “Tetapi isi buku yang Anda ajarkan, berbeda dengan yang Anda katakan. Dalam buku tersebut disebutkan, menetapi satu madzhab saja itu hukumnya haram. Bahkan dalam bagian lain buku tersebut, orang yang menetapi satu madzhab saja itu dihukumi kafir.” Menjawab pertanyaan tersebut, al-Albani kebingungan menjawabnya.
Demikianlah dialog panjang antara Syaikh al-Buthi dengan Muhaddits Abad Milenium SI al-Albani, yang didokumentasikan dalam kitab beliau al-Lamadzhabiyyah Akhthar Bid’ah Tuhaddid al-Syari’at al-Islamiyyah.
Sumber : http://www.facebook.com/alaina.sufi/posts/468527989885120

Tradisi Kenduri Kematian

Dalam tradisi kaum Muslim Nusantara, ketika ada seorang Muslim meninggal dunia, maka pihak keluarga si mati mengadakan selamatan atau kenduri, yang dihadiri oleh keluarga, tetangga dan handai taulan untuk membacakan al-Qur’an, Tahlilan dan mendoakan si mati bersama-sama. Kemudian diakhiri dengan makan bersama, dari makanan yang disiapkan oleh keluarga si mati.
Menyikapi tradisi kenduri kematian tersebut, terlepas apakah berasal dari tradisi sebelum masuknya Islam ke Nusantara atau tidak, umat Islam Nusantara memilih untuk melestarikannya sebagai kultur dan budaya bangsa. Namun akhir-akhir ini, ada satu kelompok umat Islam, yang sangat keras menyikapinya dan berupaya menghapusnya sampai ke akar-akarnya dengan alasan tradisi tersebut melanggar hukum Islam, tidak sesuai dengan sunnah Rasul saw dan tradisi kaum salaf yang shaleh. Oleh karena itu, uraian tentang hukum kenduri kematian dari berbagai perspektif menjadi penting untuk dikaji.
Berkaitan dengan tradisi kenduri kematian ini, ada beberapa pendapat di kalangan para ulama yang perlu kita jadikan renungan, agar tidak gegabah dan radikal dalam menyikapinya.
Pertama, menurut mayoritas ulama kenduri kematian hukumnya makruh, tetapi kemakruhan ini tidak sampai menghilangkan pahala sedekah yang dilakukan. Jadi dilihat dari proses pelaksanaanya, dihukumi makruh, tetapi dilihat dari esensi sedekahnya tetap mendatangkan pahala. Akan tetapi hukum makruh ini akan meningkat volumenya menjadi hukum haram, apabila makanan tersebut diambilkan dari harta ahli waris yang mahjur (tidak boleh mengelola hartanya seperti anak yatim dan belum dewasa), atau dapat menimbulkan madarat bagi keluarga si mati. Dan hukum makruh ini akan menjadi hilang, apabila makanan yang dihidangkan merupakan hasil dari sumbangan dan kontribusi tetangga seperti yang seringkali terjadi dalam budaya nusantara.
Kedua, riwayat dari Khalifah Umar bin al-Khatthab yang berwasiat agar disediakan makanan bagi orang-orang yang datang melayat. Al-Imam Ahmad bin Mani’ meriwayatkan:
“Dari Ahnaf bin Qais, berkata: “Setelah Khalifah Umar ditikam oleh Abu Lu’luah al-Majusi, maka ia memerintahkan Shuhaib agar menjadi imam sholat selama tiga hari dan memerintahkan menyediakan makanan bagi manusia. Setelah mereka pulang dari jenazah Umar, mereka datang, sedangkan hidangan makanan telah disiapkan. Lalu mereka tidak jadi makan, karena duka cita yang menyelimuti. Lalu Abbas bin Abdul Mutthalib datang dan berkata: “Wahai manusia, dulu Rasulullah meninggal, lalu kita makan dan minum sesudah itu. Lalu Abu Bakar meninggal, kita makan dan minum sesudahnya. Wahai manusia, makanlah dari makanan ini.” Lalu Abbas menjamah makanan itu, dan orang-orang pun menjamahnya.” (HR. Ibnu Mani’).
Ketiga, riwayat dari Sayyidah Aisyah, istri Nabi ketika ada keluarganya meninggal dunia, beliau menghidangkan makanan. Imam Muslim meriwayatkan dalam Shahih-nya: عَنْ عُرْوَةَ عَنْ عَائِشَةَ زَوْجِ النَّبِيِّ أَنَّهَا كَانَتْ إِذَا مَاتَ الْمَيِّتُ مِنْ أَهْلِهَا فَاجْتَمَعَ لِذَلِكَ النِّسَاءُ ثُمَّ تَفَرَّقْنَ إِلاَّ أَهْلَهَا وَخَاصَّتَهَا أَمَرَتْ بِبُرْمَةٍ مِنْ تَلْبِيْنَةٍ فَطُبِخَتْ ثُمَّ صُنِعَ ثَرِيْدٌ فَصُبَّتْ التَّلْبِيْنَةُ عَلَيْهَا ثُمَّ قَالَتْ كُلْنَ مِنْهَا فَإِنِّيْ سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ يَقُوْلُ اَلتَّلْبِيْنَةُ مُجِمَّةٌ لِفُؤَادِ الْمَرِيْضِ تُذْهِبُ بَعْضَ الْحُزْنِ. رواه مسلم. “Dari Urwah, dari Aisyah, istri Nabi , bahwa apabila seseorang dari keluarga Aisyah meninggal, lalu orang-orang perempuan berkumpul untuk berta’ziyah, kemudian mereka berpisah kecuali keluarga dan orang-orang dekatnya, maka Aisyah menyuruh dibuatkan talbinah (sop atau kuah dari tepung dicampur madu) seperiuk kecil, lalu dimasak. Kemudian dibuatkan bubur. Lalu sop tersebut dituangkan ke bubur itu. Kemudian Aisyah berkata: “Makanlah kalian, karena aku mendengar Rasulullah bersabda: “Talbinah dapat menenangkan hati orang yang sakit dan menghilangkan sebagian kesusahan.” (HR. Muslim [2216]).
Dua hadits di atas mengantarkan pada kesimpulan bahwa pemberian makanan oleh keluarga duka cita kepada orang-orang yang berta’ziyah telah berlangsung sejak generasi sahabat atas perintah Khalifah Umar sebelum wafat, dan dilakukan oleh Sayyidah Aisyah. Hal ini menunjukkan bahwa tradisi kenduri kematian bukanlah perbuatan yang dilarang dalam agama.
Keempat, tradisi kaum salaf sejak generasi sahabat yang bersedekah makanan selama tujuh hari kematian untuk meringankan beban si mati. Dalam hal ini, al-Imam Ahmad bin Hanbal meriwayatkan dalam kitab al-Zuhd:
“Dari Sufyan berkata: “Thawus berkata: “Sesungguhnya orang yang mati akan diuji di dalam kubur selama tujuh hari, karena itu mereka (kaum salaf) menganjurkan sedekah makanan selama hari-hari tersebut.”
Hadits di atas diriwayatkan al-Imam Ahmad bin Hanbal dalam al-Zuhd, al-Hafizh Abu Nu’aim dalam Hilyah al-Auliya’ (juz 4 hal. 11), al-Hafizh Ibnu Rajab dalam Ahwal al-Qubur (32), al-Hafizh Ibnu Hajar dalam al-Mathalib al-‘Aliyah (juz 5 hal. 330) dan al-Hafizh al-Suyuthi dalam al-Hawi lil-Fatawi (juz 2 hal. 178). Tradisi bersedekah kematian selama tujuh hari berlangsung di Kota Makkah dan Madinah sejak generasi sahabat, hingga abad kesepuluh Hijriah, sebagaimana dijelaskan oleh al-Hafizh al-Suyuthi.
Kelima, pendapat Imam Malik bin Anas, pendiri madzhab Maliki, bahwa hidangan kematian yang telah menjadi tradisi masyarakat dihukumi jaiz (boleh), dan tidak makruh. Hal ini seperti dipaparkan oleh Syaikh Abdullah al-Jurdani, dalam Fath al-‘Allam Syarh Mursyid al-Anam, juz 3 hal. 218.
Berdasarkan paparan di atas, dapat kita simpulkan bahwa hukum memberi makan orang-orang yang berta’ziyah masih diperselisihkan di kalangan ulama salaf sendiri antara pendapat yang mengatakan makruh, mubah dan Sunnat. Di kalangan ulama salaf tidak ada yang berpendapat haram. Bahkan untuk selamatan selama tujuh hari, berdasarkan riwayat Imam Thawus, justru dianjurkan oleh kaum salaf sejak generasi sahabat dan berlangsung di Makkah dan Madinah hingga abad kesepuluh Hijriah. Sedangkan tradisi kenduri pada hari ke 40, 100, 1000 dan lain-lain, adalah boleh dan hal tersebut hanya semata-mata tradisi yang berkembang. (Syaikh Nawawi Banten, Nihayah al-Zain, hal. 281). Hal ini didasarkan pada hadits berikut ini:
“Dari Ibnu Umar , beliau berkata: “Nabi selalu mendatangi Masjid Quba setiap hari Sabtu dengan berjalan kaki dan berkendaraan.” Abdullah bin Umar juga sering melakukannya.”
Mengomentari hadits tersebut, al-Hafizh Ibnu Hajar berkata dalam Fath al-Bari: “Hadits ini, dengan jalur-jalurnya yang berbeda-beda, mengandung petunjuk atas bolehnya menentukan sebagian hari-hari tertentu dengan sebagian amal saleh dan melakukannya secara terus menerus.” (Al-Hafizh Ibnu Hajar, Fath al-Bari, juz 3 hal. 69). (Wallahu a’lam).